Beranda | Artikel
Sikap Ahlus Sunnah Diantara Firqah Sesat
Rabu, 9 Maret 2022

SIKAP AHLUS SUNNAH DIANTARA FIRQAH-FIRQAH SESAT

Aqidah Ahlussunnah wal Jamâ’ah adalah aqidah Islam yang benar, berada di pertengahan di antara akidah-aqidah golongan-golongan sesat yang menisbatkan diri kepada agama Islam. Dalam setiap bab-bab akidah, Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada ditengah antara dua golongan, yang pemikiran keduanya saling bertentangan, salah satunya ghuluw (melewati batas), yang lain meremehkannya. Jadi, akidah ahlussunnah wal Jamâ’ah adalah akidah yang haq di antara dua kebatilan. Inilah di antara contoh hal tersebut:

1. Dalam Bab Ibadah
Di dalam bab ibadah, Ahlussunnah berada di tengah-tengah antara golongan  Râfidhah juga Shûfiyah dengan golongan Duruz dan Nushairiyyah.

Golongan  Râfidhah dan Shûfiyah menyembah Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah yang tidak disyari’atkan, seperti berbagai dzikir, tawassul, dan membuat hari raya dan perayaan bid’ah, membangun kubur, shalat di dekatnya, thawaf mengelilingi kuburan, dan menyembelih binatang di dekatnya. Banyak di antara mereka menyembah orang-orang yang telah dikubur dengan cara menyembelih untuk mereka, berdoa kepada mereka agar menjadi perantara kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mendatangkan perkara yang diinginkan atau menolak perkara yang dikhawatirkan.

Sebaliknya, golongan Duruz dan Nushairiyyah, yang menamakan diri dengan ‘Alawiyyin, meninggalkan peribadatan kepada Allâh sama sekali. Mereka tidak menjalankan shalat, tidak berpuasa, tidak menunaikan zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada diantara dua golongan tersebut. Mereka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang telah dijelaskan dalam kitabullâh, al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak meninggalkan ibadah-ibadah yang telah Allâh wajibkan atas mereka. Mereka juga tidak membuat-buat ibadah baru berdasarkan kemauan diri mereka sendiri. Ini sebagai realisasi dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak. [HR. Al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718]

Di dalam riwayat laim imam Muslim:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim no. 1718]

Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah Beliau:

«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara-perkara yang baru, dan semua perkara baru (dalam agama) adalah kesesatan. [HR. Muslim, no. 867]

2. Dalam Bab : Nama dan Sifat Allâh
Ahlussunnah wal Jamâ’ah bersikap tengah dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allâh di antara golongan mu’atthilah dengan golongan mumats-tsilah.

Di antara golongan mu’atthilah, ada yang mengingkari semua nama dan sifat-sifat Allâh, seperti golongan Jahmiyyah. Diantara mereka  ada yang mengingkari sifat-sifat Allâh, seperti golongan Mu’tazilah. Dan di antara mereka  ada yang mengingkari mayoritas sifat-sifat Allâh dan menta’wilkannya, seperti golongan Asyâ’irah. Ini mereka lakukan berdasarkan akal mereka yang dangkal, dan lebih mendahulukan akal daripada kitab  Allâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka seakan mengukur nash-nash syari’at dengan akal mereka. Nash yang diterima akal mereka, diterima, sedangkan nash yang tidak diterima akal mereka, ditolak atau dita’wilkan. Mereka menganggap itu sebagai tanzîh (sikap mensucikan Allâh Azza wa Jalla ). Mereka menjadikan nash-nash syari’at sebagai terdakwa, bukan sebagai hakim. Mereka menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber ilmu mereka, al-Qur’an dan as-Sunnah harus mengikuti akal. Perkara-perkara yang diputuskan oleh akal mereka anggap sebagai prinsip-prinsip global yang pertama, tidak membutuhkan nash-nash syari’at.

Oleh karena itu mereka menetapkan berbagai kewajiban atau keharusan dan berbagai larangan atau kemustahilan pada diri Allâh Azza wa Jalla dengan argumen-argumen akal menurut mereka. Mereka mengganggapnya sebagai kebenaran, padahal itu kebatilan. Mereka menentang nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan akal, sehingga ada salah seorang di antara mereka berkata:

وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا … أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا

Semua nash yang menyebabkan salah faham adanya tasybîh (keserupaan Allâh dengan makhluk-pent), takwilkan, atau tafwidh-kan, dan carilah tanzîh (kesucian Allâh-pent).[1]

Mereka ini menolak nash syari’at dan menta’wilkannya dari maknanya yang hakiki yang difahami kepada makna yang jauh, dengan tanpa dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan, “Yang dimaksud bukanlah makna yang ditunjukkan oleh zhahir nash, tetapi yang benar adalah apa yang telah ketahui dari akal kita.” Kemudian mereka berusaha menta’wilkan nash-nash kepada macam-macam ta’wil yang sesuai dengan pendapat mereka. Oleh karena itu, kebanyakan mereka tidak menetapka ta’wil, tetapi mereka berkata, “Mungkin yang dimaksudkan demikian, boleh jadi yang dimaksudkan demikian.” Dan mereka berselisih di dalam menta’wilkan sebagian sifat-sifat dengan perselisihan yang banyak.

Diantara mereka ada juga yang mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dari nash, tetapi kita telah mengetahui kebenaran dengan akal kita.” Sikap mereka itu merupakan bentuk tuduhan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau tidak menjelaskan al-Qur’an, padahal Allâh telah mengutus Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelasakan al-Qur’an, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan adz-Dzikr (peringatan; al-Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An-Nahl/16: 44]

Mereka memandang bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dalam masalah sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan pembicaaran yang dimaksudkan bukanlah makna yang sesungguhnya yang segera difahami, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada manusia, dan bahwa Salaf (orang-orang dahulu) dari kalangan Sahabat dan orang-orang setelah mereka tidak memahaminya dan tidak menjelasakannya kepada manusia. Sampai datang al-Asy’ari dan orang-orang setelahnya yang mengikuti jalannya, lalu mereka ini mengetahuinya dan menjelaskannya kepada manusia. Ini adalah pendapat yang nyata kebatilannya, dan nyata menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempurna di dalam menyampaikan risalah (tugas diutusnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).

Sesungguhnya sebab yang menjerumuskan golongan muawwilah ke dalam ta’wil adalah karena mereka membanding-bandingkan sifat-sifat al-Khâliq Azza wa Jalla dengan sifat-sifat makhluk. Kemudian hal itu mendorong mereka melakukan ta’wil terhadap kebanyakan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditetapkan di dalam al-Kitab dab as-Sunnah. Karena mereka mengangap sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla itu menyerupai sifat-sifat makhluk. Ini adalah kesalahan yang nyata, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. [Asy-Syûrâ/42:11]

Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya, demikian pula makhluk memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kefakirannya, kehinaannya, dan kelemahannya.

Sehingga sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla tidak menyamai sifat-sifat makhluk[2].

Sedangkan golongan mumats-tsilah, mereka membuat persamaan-persamaan bagi Allâh Azza wa Jalla . Mereka menganggap sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagian mereka berkata, “Tangan Allâh Azza wa Jalla seperti tanganku”, “Pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaranku”. Maha suci Allâh Azza wa Jalla dari perkataan mereka.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dengan pendapat yang pertengahan di dalam bab ini. Yaitu pendapat yang ditunjukkan oleh Kitab Allâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka beriman kepada semua nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan semua sifat-sifatNya yang ditetapkan di dalam nash-nash syari’at. Sehingga mereka menyifati Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat yang Allâh sifati diri-Nya dengan sifat-sifat tersebut, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan oleh manusia yang paling mengenal-Nya, yaitu Rasul-Nya, Nabi Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlussunnah menyifati Allâh Azza wa Jalla dengan tanpa ta’thîl, ta’wîl, tamtsîl, dan takyîf. Mereka mengimani bahwa itu adalah sifat-sifat Allâh yang sebenarnya, sifat-sifat yang pantas dengan keagungan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Itu semua sebagai pengamalan firman Allâh Azza wa Jalla :

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Asy-Syuuraa/42: 11]

Ahlussunnah wal Jama’ah bersandar kepada nash-nash syari’at, dan lebih mengedepankan nash-nash syari’at dari pada akal manusia. Mereka menjadikan akal manusia sebagai sarana untuk memahami nash-nash syari’at, dan sebagai syarat untuk mengenal segala ilmu, dan kesempurnaan serta kebaikan semua amalan. Dengan akal manusia, ilmu dan amal menjadi sempurna, tetapi akal tidak bisa berdiri sendiri dalam hal ini.

Dengan demikian Ahlussunnah wal Jama’ah juga bersikap tengah dalam masalah akal,  mereka tidak mengedepankan akal di atas nash-nash syari’at, sebagaimana dilakukan oleh para ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah, Asya’irah dan lainnya. Namun  Ahlussunnah wal Jama’ah juga tidak menyia-nyiakan akal dan mencelanya, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang-orang shufiyah. Mereka ini mencela akal, dan menetapkan perkara-perkara yang didustakan oleh akal yang sehat. Mereka juga mempercayai pada perkara-perkara yang diketahui kedustaannya oleh akal yang sehat.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 20-25, Penerbit : Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa Tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Silahkan lihat perkataan ini di dalam kitab Jauharut Tauhîd, karya Ibrahim al-Laqâni al-Asy’ari dengan syarah (penjelasan)nya karya Al-Baijuuri, hlm. 91
[2] Silahkan lihat Kitâb at-Tauîid, 1/57-117, karya Ibnu Khuzaimah; Majmû’ Fatâwâ, 5/27, karya Ibnu Taimiyah; Syarah Thahâwiyah, hlm. 57-68, karya Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/52555-sikap-ahlus-sunnah-diantara-firqah-firqah-sesat.html